Minggu, 29 Januari 2012

Bocah Pengamen


Sore itu, aku sedang menunggu bus yang akan aku tumpangi untuk pulang ke rumah. Seperti biasa aku menunggu bus datang di halte dekat sekolah. Tapi, hari ini ada yang sedikit berbeda. Hari ini aku melihat ada seorang anak lelaki  yang berpakaian lusuh dan hanya memakai sepasang sandal jepit kumal di kakinya. Ditangannya terdapat sebuah gitar kecil yang terlihat sudah usang. Tak lama bus yang aku tunggu pun tiba, aku menaiki bus itu dan ternyata anak itu pun menaiki bus yang sama denganku. Sementara aku duduk di kursi belakang, anak itu langsung bernyanyi, suaranya memang tak sebagus penyanyi profesional tapi anak itu bernyanyi dengan lantang. Selesai bernyanyi ia lalu menjulurkan plastik bungkus permen ke para penumpang lainnya untuk diisi uang. Tak banyak dari penumpang yang memberinya uang. Namun terlihat dari wajahnya kalau dia amat senang. Anak itu pun duduk di kursi paling belakang di sampingku. Anak itu menghitung pendapatannya, uang itu tak lebih dari lima ribu rupiah. Aku pun bertanya pada anak itu, “enggak sekolah dek?” anak itu menjawab “enggak kak, gak punya biaya,” “loh, kan gratis biayanya,” jawab ku, anak itu hanya balas tersenyum. Aku pun penasaran dengan anak tersebut, “dek, abis ini kamu mau kemana?” “mau pulang kak, udah sore. Kasian Ibu nunggu dirumah sendirian.” “kakak boleh ikut gak?” tanyaku lagi. “boleh aja sih kak, tapi kakak mau ngapain?” anak itu terlihat sedikit bingung. “mau ikut aja, boleh ya?” bujukku. “yaudah, kak” balasnya.
Sebelum kami tiba dirumah anak itu, kami berdua mampir ke sebuah toko obat. Anak itu membeli beberapa bungkus obat asma. Setelah itu, kami berjalan melewati gang-gang sempit. Kami mulai saling bercerita, dari ceritanya sekarang aku tau kalo anak ini bernama Anca. Anca bercerita kalau ayahnya telah meninggal dunia satu tahun yang lalu akibat kecelakaan, dan kini ia hanya tinggal bertiga dengan ibu dan adiknya yang masih berusia tiga tahun. Ibu Anca memiliki penyakit asma yang terkadang sering kambuh, dan itulah alasan kenapa tadi Anca membeli obat asma di toko obat.
Lima menit kami berjalan akhirnya kami tiba di rumah Anca, rumahnya kecil dan hanya beratapkan seng yang sudah berkarat. Tembok rumahnya sudah retak, pintu rumahnya hanya terbuat dari beberapa potong triplek. Tidak ada halaman dirumah itu, dan lingkungan di rumah itu sangat kumuh. Sekilas rumah itu terlihat sudah tak layak untuk ditempati. Aku pun dipersilahkan untuk masuk kedalam rumahnya oleh Anca. Rumah itu hanya terdiri dari ruang tamu yang juga sebagai ruang tv dan tempat tidur untuk Anca, sebuah kamar yang hanya cukup untuk satu orang, dapur yang sangat kecil. Di rumahnya, berbaring seorang wanita paruh baya yang terlihat pucat dan seorang anak kecil yang sedang memakan nasi yang terlihat sudah kekuningan. Aku bersalaman dengan wanita itu dan dia memperkenalkan dirinya sebagai Ibu dari Anca dan anak kecil yang sedang makan tadi adalah adik Anca.
Kami mengobrol sangat lama, mereka mengatakan kalau kehidupan mereka semakin sulit semenjak sepeninggal ayah Anca. Ibu Anca yang bekerja sebagai buruh cuci terkadang harus tidak bekerja apabila penyakitnya kambuh. Jadi, Anca ikut membantu mencari uang dengan cara mengamen. Anca juga mengatakan kalau terkadang demi memenuhi kebutuhan keluarga ia terpaksa harus menjadi kenek bus. Kehidupan seperti itu bukanlah hal yang mudah dijalani untuk anak seusia Anca, dari ceritanya ia pernah sekali dituduh mencuri gitar pengamen lain dan akibatnya dia dipukuli oleh pengamen-pengamen yang menuduhnya. Hal itu sempat membuat Anca harus istirahat di rumah beberapa hari tanpa mengamen. Hasil pendapatan Anca dalam mengamen sehari tak lebih dari lima ribu rupiah. Dengan pendapatannya itu hanya cukup untuk membeli makan.
Tak terasa hari sudah semakin sore, kemudian aku pamit pada Anca dan Ibu Anca untuk pulang ke rumah. Anca mengantarku sampai di halte tempat tadi kami turun dari bus. Selama di perjalanan menuju halte, Anca mengatakan kalau dia ingin kembali bersekolah. Dia ingin belajar dan bermain sama seperti anak lain seusianya. Tapi baginya untuk bersekolah hanya seperti mimpi. Dia yakin Ibunya tak akan sanggup membiayainya lagi, karena untuk mereka makan saja terkadang masih sulit. Apalagi, dia masih mempunyai satu adik yang masih kecil yang membutuhkan banyak keperluan. Aku merasa sangat tersentuh dengan cerita Anca. Di masa yang sudah maju ini masih ada anak-anak yang tak sangup untuk bersekolah dan harus memenuhi kebutuhan keluarganya.
Sesampainya di rumah, aku menceritakan pengalamanku hari ini pada kedua orang tuaku. Mereka sangat tersentuh dengan ceritaku itu. Mereka mengatakan kalau mereka akan membantu keluarga Anca. Mereka juga mengatakan hari minggu besok akan mengunjungi rumah Anca untuk membantunya dan mereka memintaku untuk mengantar mereka. Aku sangat senang dengan hal tersebut. Keesokan harinya aku dan kedua orang tuaku pergi berbelanja kebutuhan pokok sehari-hari di sebuah pasar swalayan. Kami membeli beras, minyak sayur, gula, garam, kecap, buah-buahan dan yang lainnya untuk dibawa saat berkunjung ke rumah Anca. Kami juga membeli beberapa potong baju untuk keluarga Anca, karena dari yang aku lihat kemarin saat di rumah Anca mereka memakai baju yang sudah lusuh dan kotor. Selain kebutuhan pokok sehari-hari dan beberapa potong baju, aku juga membelikan Anca sebuah gitar baru untuk dipakainya saat mengamen.
Hari minggu pun tiba, aku dan keluarga pergi bersama-sama ke rumah Anca. Sesampainya di rumah Anca aku mengetuk pintu rumah Anca yang terbuat dari triplek itu. Anca membuka pintu itu dan terlihat bingung karena aku datang lagi, bukan hanya sendiri tapi juga bersama dengan keluargaku. Dia mempersilahkan aku masuk ke rumahnya yang terlihat semakin sempit karena dimasuki oleh keluargaku. Tak lama ibu Anca datang dengan membawa keranjang yang berisi baju kotor. Ternyata ibu Anca sudah mulai bekerja lagi sebagai buruh cuci yang menandakan bahwa penyakit asma ibu Anca sudah tidak kambuh lagi. Kami pun mengutarakan maksud kedatangan kami ke rumah keluarga Anca. Lalu kami memberikan apa yang telah kami beli kamarin. Ibu anca terlihat sangat senang hingga meneteskan air matanya. “terima kasih nak Vely, ibu sangat berterima kasih atas bantuan nak Vely dan keluarga,” ucap ibu Anca padaku. “sama sama bu, aku juga mau mengucapkan terima kasih karena kamarin aku diperbolehkan main kesini,” jawabku. Ibu Anca semakin sering meneteskan air matanya dan itu membuat aku dan keluarga ikut merasa sedih. “kak Vely terima kasih ya, aku udah dibeliin baju sama gitar baru. Aku seneng banget,” ujar Anca dengan wajah yang sangat bahagia. “iya Anca, sama sama. Oh iya, kamu harus lebih sering membantu ibu ya,” Anca dengan semangat mengangguk dan tersenyum padaku. “sekarang Anca kalo ada apa-apa kasih tau kak Vely ya, kak Vely pasti bantu Anca,” “”iya, kak! Aku pasti kasih tau kakak” jawabnya masih dengan senyum diwajahnya.
Kami pun pamit pulang karena hari sudah menjelang sore. Aku merasa sangat bahagia dengan pengalamanku tiga hari  belakangan ini. Bocah pengamen yang tiga hari lalu kulihat memakai kaos lusuh dan kotor, kini sudah kuberikan baju baru. Bocah pengamen yang tiga hari lalu memegang sebuah gitar yang sudah usang, kini sudah mempunyai gitar baru. Bocah pengamen yang tiga hari lalu aku temui sendirian di halte, kini sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Bocah pengamen yang tiga hari lalu aku temui sedang mengamen dan tidak bersekolah, kini telah mengajarkan aku arti dari sebuah kehidupan. Terima kasih bocah pengamen, terima kasih Anca.